Home about IT Motivation Course Sales Project About Me

Sunday, April 20, 2008

kelinci

Rating Artikel :
Oleh : Andrie Wongso
Audio/Video :



Kelinci memang dari dulu terkenal sebagai hewan yang bernyali kecil, sering ketakutan tanpa alasan yang jelas, sesegera mungkin menyingkir bila dia merasa terganggu keamanannya.

Suatu hari, terlihat sekelompok kelinci sedang berkumpul di tepi sebuah sungai, mereka sibuk berkeluh kesah meratapi nyalinya yang kecil, mengeluh kehidupan mereka yang senantiasa dibayangi dengan mara bahaya. Semakin mereka ngobrol, semakin sedih dan ketakutan memikirkan nasib mereka.

Alangkah malangnya lahir menjadi seekor kelinci. Mau lebih kuat tidak punya tenaga, ingin terbang ke langit biru tidak punya sayap, setiap hari ketakutan melulu. Mau tidur nyenyak pun sulit karena terganggu oleh telinga panjang yang tajam pendengarannya sehingga matanya yang berwarna merah pun semakin lama semakin merah saja.

Mereka merasa hidup ini tidak ada artinya. Dari pada hidup menderita ketakutan terus, mereka berpikir lebih baik mati saja. Akhirnya mereka mengambil keputusan beramai-ramai hendak bunuh diri dengan melompat dari tepian tebing yang tinggi dan curam. Maka para kelinci terlihat berbondong-bondong menuju ke arah tebing.

Saat mereka melewati pinggir sungai, ada seekor katak yang terkejut melihat kedatangan kelinci yang berjumlah banyak. Tergesa-gesa si katak ketakutan dan segera meloncat ke sungai melarikan diri.

Walaupun si kelinci sering menjumpai katak yang melompat ketakutan saat melihat kelinci melintas, tetapi sebelum ini mereka tidak peduli. Berbeda untuk kali ini. Tiba-tiba ada seekor kelinci yang tersadar dari kesedihannya dan langsung berteriak, "Hei, berhenti! Kita tidak usah ketakutan sampai perlu harus bunuh diri.

Karena lihat lah, ternyata ada hewan lain yang lebih tidak bernyali dibandingkan kita yakni si katak yang terbirit-birit saat melihat kita! Mendengar kata-kata itu, kelinci yang lain tiba-tiba pikiran dan hatinya terbuka, seoleh-oleh tumbuh tunas keberanian di hati mereka. Maka dengan riang gembira mereka mulai saling membesarkan diri masing-masing, "iya, kita tidak perlu ketakutan!". "Tuh kan, ada mahluk lain yang lebih pengecut dari kita", "Iya, kita harus semakin berani". Perlahan-lahan mereka berbalik arah kembali kearah pulang dengan riang gembira dan melupakan niatnya untuk bunuh diri.


Pembaca yang budiman,

Saat keberuntungan sedang tidak memihak kepada kita, Jangan suka meratapi nasib yang dirundung malang seakan-akan hanya kitalah mahluk paling menderita di muka bumi ini. Lihatlah disekeliling kita. Masih begitu banyak orang yang lebih susah, sengsara dan sial dibandingkan kita. Jika mereka yang hidup dalam kekurangan tetapi mampu menjalaninya dengan tegar dan tetap berjuang, kenapa kita tidak?

Apapun keadaan kehidupan kita hari, seharusnya kita jalani dengan optimis dan aktif, nasib tidak akan dapat kita robah tanpa manusia itu sendiri yang siap merobahnya, Karena sesungguhnya ‘sukses adalah hak setiap orang' success is my right, bagi siapa saja yang mau berjuang dengan sungguh-sungguh.

Salam sukses luar biasa!!!

Andrie Wongso

pemancing cilik

Rating Artikel :
Oleh : Andrie Wongso

Pada tepian sebuah sungai, tampak seorang anak kecil sedang bersenang-senang. Ia bermain air yang bening di sana. Sesekali tangannya dicelupkan ke dalam sungai yang sejuk. Si anak terlihat sangat menikmati permainannya.

Selain asyik bermain, si anak juga sering memerhatikan seorang paman tua yang hampir setiap hari datang ke sungai untuk memancing. Setiap kali bermain di sungai, setiap kali pula ia selalu melihat sang paman asyik mengulurkan pancingnya. Kadang, tangkapannya hanya sedikit. Tetapi, tidak jarang juga ikan yang didapat banyak jumlahnya.

Suatu sore, saat sang paman bersiap-siap hendak pulang dengan ikan hasil tangkapan yang hampir memenuhi keranjangnya, si anak mencoba mendekat. Ia menyapa sang paman sambil tersenyum senang. Melihat si anak mendekatinya, sang paman menyapa duluan. "Hai Nak, kamu mau ikan? Pilih saja sesukamu dan ambillah beberapa ekor. Bawa pulang dan minta ibumu untuk memasaknya sebagai lauk makan malam nanti," kata si paman ramah.

"Tidak, terima kasih Paman," jawab si anak.

"Lo, paman perhatikan, kamu hampir setiap hari bermain di sini sambil melihat paman memancing. Sekarang ada ikan yang paman tawarkan kepadamu, kenapa engkau tolak?"

"Saya senang memerhatikan Paman memancing, karena saya ingin bisa memancing seperti Paman. Apakah Paman mau mengajari saya bagaimana caranya memancing?" tanya si anak penuh harap.

"Wah wah wah. Ternyata kamu anak yang pintar. Dengan belajar memancing engkau bisa mendapatkan ikan sebanyak yang kamu mau di sungai ini. Baiklah. Karena kamu tidak mau ikannya, paman beri kamu alat pancing ini. Besok kita mulai pelajaran memancingnya, ya?"

Keesokan harinya, si bocah dengan bersemangat kembali ke tepi sungai untuk belajar memancing bersama sang paman. Mereka memasang umpan, melempar tali kail ke sungai, menunggu dengan sabar, dan hup... kail pun tenggelam ke sungai dengan umpan yang menarik ikan-ikan untuk memakannya. Sesaat, umpan terlihat bergoyang-goyang didekati kerumunan ikan. Saat itulah, ketika ada ikan yang memakan umpan, sang paman dan anak tadi segera bergegas menarik tongkat kail dengan ikan hasil tangkapan berada diujungnya.

Begitu seterusnya. Setiap kali berhasil menarik ikan, mereka kemudian melemparkan kembali kail yang telah diberi umpan. Memasangnya kembali, melemparkan ke sungai, menunggu dimakan ikan, melepaskan mata kail dari mulut ikan, hingga sore hari tiba.

Ketika menjelang pulang, si anak yang menikmati hari memancingnya bersama sang paman bertanya, "Paman, belajar memancing ikan hanya begini saja atau masih ada jurus yang lain?"

Mendengar pertanyaan tersebut, sang paman tersenyum bijak. "Benar anakku, kegiatan memancing ya hanya begini saja. Yang perlu kamu latih adalah kesabaran dan ketekunan menjalaninya. Kemudian fokus pada tujuan dan konsentrasilah pada apa yang sedang kamu kerjakan. Belajar memancing sama dengan belajar di kehidupan ini, setiap hari mengulang hal yang sama. Tetapi tentunya yang diulang harus hal-hal yang baik. Sabar, tekun, fokus pada tujuan dan konsentrasi pada apa yang sedang kamu kerjakan, maka apa yang menjadi tujuanmu bisa tercapai."


Pembaca yang budiman,

Sama seperti dalam kehidupan ini, sebenarnya untuk meraih kesuksesan kita tidak membutuhkan teori-teori yang rumit, semua sederhana saja, Sepanjang kita tahu apa yang kita mau, dan kemudian mampu memaksimalkan potensi yang kita miliki sebagai modal, terutama dengan menggali kelebihan dan mengasah bakat kita, maka kita akan bisa mencapai apa yang kita impikan dan cita-citakan. Apalagi, jika semua hal tersebut kita kerjakan dengan senang hati dan penuh kesungguhan.

Dengan mampu mematangkan kelebihan-kelebihan kita secara konsisten, maka sebenarnya kita sedang memupuk diri kita untuk menjadi ahli di bidang yang kita kuasai. Sehingga, dengan profesionalisme yang kita miliki, apa yang kita perjuangkan pasti akan membuahkan hasil yang paling memuaskan.



Salam sukses, luar biasa!!!

Andrie Wongso



Seberapa Banyak Keju Yang Masih Anda Miliki?

diambil dari lagi lagi: http://www.dadangkadarusman.com/
capek dech. yang lulusan LG PDI pasti tau dech yang ini:

Spencer Johnson menggunakan keju sebagai simbol terhadap sesuatu yang penting bagi kita. Bukan keju sesungguhnya; melainkan sesuatu yang kita ingin agar selalu menjadi milik kita; selamanya. Bagi tikus, keju itu sangat penting, sebab konon tidak ada makanan yang lebih lezat didunia ini selain keju. Dengan kata lain, keju adalah sumber energi kehidupan yang terbaik; itu menurut tikus. Menurut anda bagaimana? Bukankah anda tidak ingin sesuatu yang penting bagi anda hilang begitu saja? Jika demikian, pertimbangkanlah untuk belajar kepada tikus, bagaimana mereka memperjuangkannya tanpa kenal putus asa; sehingga, seekor tikus selalu siap untuk bertanya: “Who Moved My Cheese”?

Bagi seekor tikus; keju adalah segalanya. Bagi seorang manusia seperti kita, segalanya adalah sesuatu yang sangat kita inginkan. Itu bisa berupa pendapatan. Fasilitas kantor. Status. Kehormatan. Atau apa saja. Tanpa semuanya itu, kita merasa tidak berarti; rendah diri, depresi; dan dunia serasa sudah berakhir saja. Jika anda adalah karyawan seperti saya, maka keju bisa juga berarti kelangsungan kerja kita. Jika kita di-PHK, misalnya; kita merasa seolah kehilangan segalanya. Itulah keju. Tetapi, hey. Bagaimana kalau kita benar-benar kehilangan keju itu? Pertanyaan yang mengerikan, bukan? Tetapi, justru karena merasa ngeri dengan kemungkinan itu, maka kita berusaha untuk menjalaninya dengan baik. Sehingga suka atau tidak; aktivitas kerja menjadi santapan setiap hari.

Rupanya, begitu juga tikus bertingkah setiap hari. Dia secara rutin keluar dari sarangnya menuju ke sebuah tempat dimana keju itu berada. Dia menghabiskan waktu disana, sampai perutnya kenyang. Dan tak lupa; dia membawa pulang sebagian keju itu untuk bekalnya di rumah sebagai bahan cemilan. Begitulah rutinitas itu dia lakukan setiap hari; seperti yang dilakukannya hari ini. Hari ini, tikus itu keluar dari sarangnya, dan berangkat ketempat seperti biasanya dia tuju. Harapannya tentu saja sama; mendapatkan keju seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi, hey, ternyata, sesampainya ditempat itu; dia mendapati gudang keju yang sudah kosong; tanpa sedikitpun yang masih tersisa! Apa yang dilakukan sang tikus?

Kita, melakukan hal yang persis sama. Suatu ketika, kita bangun pagi-pagi. Pergi ketempat biasanya kita mencari nafkah. Harapan kita sama; mendapatkan nafkah seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi, hey. Kemanakah nafkah yang kita harapkan itu? Ternyata kini sudah tidak ada lagi. Apa yang dilakukan oleh sang kita?

Tikus itu hanya berhenti sejenak. Lalu dia mengendus-endus menggunakan indera penciumannya yang segera mencari; kemaaaana perginya keju itu? Tahukah anda akhirnya tikus itu menyadari bahwa keju sudah berpindah dari gudangnya ke…perutnya sendiri? Keju itu sudah habis!

Jadi, apa yang tikus itu lakukan? Pulang ke sarangnya sambil menangis tersedu-sedu? Turun kejalan sambil mengusung poster-poster berisi kecaman dan kemarahan? Mengambil batu dan melempari kaca-kaca jendela gudangnya hingga luluh lantak? Atau, datang kepada sang pemilik keju lalu mengajak mereka berkelahi? Tidak. Tidak demikian. Tikus itu memilih untuk terus mengendus. Mencari kesana kemari. Berusaha untuk menemukan gudang keju yang baru.

Jadi apa yang sang kita lakukan? Kita berhenti. Termenung ditempat itu. Lalu membiarkan diri sendiri diasapi oleh kekecewaan. Frutrasi. Dan putus asa. Mengapa sumber penghasilan saya tiba-tiba hilang? Begitu teriak kita. Kita tidak mau mengerti bahwa tidak ada sumber pendapatan yang langgeng. Sekarang bisnis kita sedang baik, besok bagaimana? Sekarang boss masih mau mempekerjakan kita; besok apakah tidak akan ada PHK? Tidak ada yang menjamin semuanya itu. Lalu, bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi pada kita? Apa yang kita lakukan? Berdemo. Atau tidur siang yang panjang.

Tikus itu terus mengendus. Bergerak. Mencari, terus tanpa terputus. Kita ini terus tercenung. Meratapi dan menyesali; “Mengapa ini mesti terjadi!?”

Tikus itu berjalan terus. Kita ini terdiam terus menerus. Tikus itu terus melaju. Kita ini terus terpuruk. Dan, ketika tikus itu menemukan gudang baru yang penuh berisi keju; dia melompat gembira. “Hore! Aku tiba digudang keju yang baru.” Perjalanan yang melelahkan itu telah membawanya kepada ujung yang menyenangkan: “Hore, Gudang keju yang baru!” katanya. “Hore! Hari Baru!”, teriaknya sekali lagi.

Apa yang terjadi pada si ‘kita’ itu?
Teman kita, yang namanya ‘kita’ itu masih terdiam ditempat yang sama. Menyesali nasibnya; dengan tubuh yang sama sekali tidak terawat lagi. Samar-samar ia mendengar suara sang tikus; “Hey! Ayo bangkit lagi!” katanya. “Jangan hanya berdiam diri. Ayo temukan kembali gudang kejumu sendiri!” ia memberi semangat.

Kata kita si teman kita; “Dimana adanya gudang kejuku yang baru?”
Lalu si tikus menjawab:”Aku tidak tahu.” Katanya sambil mengangkat bahu.
“Kalau kamu tidak tahu,” kata si kita. “Bagaimana aku bisa menemukannya?” ia kebingungan.
“Kamu harus menemukannya sendiri, kita!” kata si tikus.
“Aku tidak akan bisa.” Kata si kita manja.
“Mengapa tidak bisa?” desak si tikus.
“Karena aku tidak tahu bagaimana caranya…” si kita merengek.
“Maukah kamu kuberitahu?” si tikus menimpali dengan bijaknya.
Si kita menatap si tikus dengan pandangan yang ragu-ragu. Lalu si tikus menganggukkan kepalanya mengukuhkan sebuah keyakinan. “Aku sudah menemukan gudang kejuku,” katanya. “Dan akan kuberi tahu dirimu bagaimana aku melakukannya.” Ia melanjutkan.

“Baiklah,” kata si kita. “Katakan kepadaku jika begitu.”
“Sederhana saja,” timpal si tikus.
Si kita memasang telinga, dan si tikus kembali berpesan:
”Jangan pernah berhenti mencari, sampai kamu menemukannya.”

Hore,
Hari Baru!

Catatan kaki:

  1. Pernah berurusan dengan tikus? Jangan tanya betapa sulitnya mengimbangi kegigihan tikus. Jika tikus sudah menghendaki sesuatu di rumah Anda, maka dia akan melakukannya sampai dapat. Anda mungkin bisa menjebaknya. Tetapi anda tidak mungkin bisa menaklukannya. Anda lebih sering dikalahkan oleh tikus daripada anda yang mengalahkannya. Jika anda tidak percaya cerita saya; tanyakan saja kepada si Tom; bagaimana dia selama puluhan tahun telah diperdayai oleh si Jerry.
  2. Ada dua karakter tikus yang saling bertolak belakang; negatif dan positif. Kegigihan adalah ciri positifnya. Dan kerakusan adalah ciri negatifnya. Ada manusia yang meniru sifat negatif tikus; sehingga jadilah mereka pencuri rakus yang bersembunyi dibalik jas dan baju bagus. Ada orang yang meniru sisi positifnya; sehingga mereka tampil sebagai manusia dengan sikap pantang menyerah. Ada juga orang yang memborong kedua-duanya. Termasuk kelompok manakah anda?

Terus Berlari, Atau Selamanya Terhenti

diambil dari http://www.dadangkadarusman.com/


Kita sering diingatkan bahwa selama masih hidup, maka roda kehidupan masih akan terus berputar. Kadang diatas, dan kadang dibawah. Kita ingin terus diatas. Namun, hidup memiliki kodratnya sendiri.Yang diperlukan hidup dari kita bukanlah menghentikan perputarannya, melainkan berlari bersamanya. Membawa roda itu menuju ketempat yang nilainya tinggi. Sebab, ditempat yang tinggi, sekalipun bagian roda itu berada dibawah, tetap saja dia tinggi. Jadi, jika kita bisa memberikan derajat yang tinggi pada sang roda, maka berada dibagian bawah roda itu bukanlah masalah. Melainkan, seperti melodi indah dalam simponi naik dan turunnya irama sebuah orkestra. Itu hanya bisa terjadi jika kita terus berlari. Sebab, jika kita berhenti, maka kita menjadi terdiam seperti mati.

Pagi itu, embun masih enggan untuk beranjak pergi. Menutupi rumput tebal yang menghampar diseluruh permukaan padang golf yang menghijau. Hujan semalam menyisakan sunyi. Juga dingin memanjakan. Sementara burung-burung mulai sibuk bernyanyi tralala-trilili, tak seorangpun saya temui dipagi buta seperti ini. Kesendirian memberi ruang untuk menikmati semuanya tanpa ada yang menyela. Nyanyi riang para burung bergabung dengan gemuruh deburan ombak dikejauhan. Bersama suara derak renyah dari pergesekan antara alas sepatu dengan landasan semen disepanjang jogging tract yang saya telusuri. Benar-benar damai. Begitu membuai hingga tanpa terasa padang golf sudah berganti dengan bibir pantai yang terjal. Embun bergulat dengan geliat sinar mentari, namun keringat disekujur tubuh saya bercucuran tanpa kompromi. Tak ada dingin. Melainkan kehangatan yang memenuhi hati.

Sesampai diujung terjauh tebing itu, kita tidak perlu berlari lagi. Inilah ujung dunia itu. Tempat pertemuan antara muara sungai dengan tanah tempat berpijak, dan lautan yang mendeburkan suara ombak. Tempat dimana kita bisa membenamkan diri didalam kedamaian. Tempat dimana lagu laut bersenandung merdu untuk menghipnotis kita agar mendekat. Hingga akhirnya berhadapan langsung dengan sang ombak. Berdiri diatas batu karang kehitaman yang berdiri tegak. Terpukau oleh sisa-sisa air pasang semalam. Terpikat oleh ikan-ikan kecil yang terperangkap disela-sela genangan. Siput-siput terpaku dalam bisu. Dan rumput-rumput laut menyajikan hamparan bak beludru.

Ketika saya melompat dari satu batu karang ke batu karang lainya, tiba-tiba saja ada sebuah kesadaran baru. Ternyata, tempat saya berpijak bukanlah benar-benar batu karang. Melainkan setumpuk kulit kerang yang mengeras, melapisi permukaan batu karang itu. Lama-lama, saya menyadari bahwa selama jutaan tahun alam telah menghidupi batu karang itu dengan sisa-sisa kulit kerang. Lalu mereka memosil. Dan akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur batu itu. Tapi, ada satu tanya nyaris tak berjawab dibenak saya; ’Mengapa alam begitu rajin mengumpulkan kulit kerang itu?’ Dengan telaten membawanya ketempat itu. Dan teramat terampilnya menata kulit kerang itu sebegitu rapi. Tetapi, benarkah mereka melakukannya? Jika bukan, lantas siapa? Yang pasti, itu bukan perbuatan ikan-ikan. Bukan tindakan ombak yang bercipratan. Bukan pula nelayan. Siapa? Saya tidak tahu.

Semakin kuat memendam keingintahuan, semakin terkubur saya dalam rasa penasaran. Formasi itu terlalu indah untuk diabaikan. Hingga akhirnya, saya terdorong untuk mencongkel kulit kerang itu. Namun, tangan ini tak kuasa untuk membongkar batu karang. Dia terlalu tangguh. Terlampau kokoh untuk sekedar membuatnya goyah. Saya mencobanya sekali lagi, kali ini menggunakan sebongkah batu. Namun, kulit kerang itu tidak hendak lepas dari pelukan sang batu karang. Mereka begitu menyatu, hingga enggan dipisahkan. Saya memukulkan batu itu terlampau keras ketika salah satu kulit kerang terpecah. Padahal, saya ingin dia utuh. Bukan hancur seperti itu.

Namun, penyesalan saya berubah menjadi ketakjuban. Ternyata, dibalik kulit kerang yang pecah itu bersembunyi seonggok daging. Daging kerang. Ternyata, kerang-kerang yang saya anggap hanya sisa-sisa sebuah kehidupan itu sesungguhnya masih hidup. Ternyata, mereka bukan setumpuk cangkang. Melainkan sebuah spesies kerang yang hidup dengan cara menempelkan dirinya dibatu karang. Berapa lama mereka harus terpaku disitu? Seumur hidup. Sejak lahir, hingga menjemput kematian. Orang-orang di Bali menamakan spesies kerang itu ’kritip’. Yaitu, kerang yang menyerahkan diri kepada batu karang. Dan mereka menjadi bagian dari bertumbuh dan berkembangnya sang batu karang.

Saya tercenung. Memandang kearah laut yang teramat luas. Membayangkan bahwa angin telah mengantarkan sang ombak untuk menjelajah seluruh penjuru dunia. Mereka-reka bahwa para ikan sudah bepergian kesemua tepi bumi. Dan para kura mengembara kemana-mana. Sementara para kritip, hanya tinggal diam terpaku disitu. Tiba-tiba saja, saya menyadari, bahwa hidup kita seperti kritip. Terpaku pada sesuatu yang kita anggap sebagai kenyamanan. Menjadikan kita takut untuk menantang hidup. Meski seperti halnya samudera luas itu, hidup sungguh menyediakan berbagai macam peluang. Menyajikan banyak hal yang lebih baik daripada tempat dimana kita berada kini. Namun, kita enggan meninggalkan kenyamanan ini dan melintasi rintangan demi pencapaian kita yang berikutnya. Dan kita mengatakan; “sudahlah, saya sampai disini saja”. Sehingga sang waktu yang telah menempuh perjalanan begitu jauh, hanya membawa kita ketempat yang sama. Tidak. Kita tidak boleh seperti itu lagi. Kita harus bersedia berhenti dari berhenti. Kembali berlari. Dan terus berlari lagi.

Tiba-tiba saja saya teringat tentang jebakan zona kenyamanan. Comfort zone. Seolah tengah kembali diajarkan sang kritip. Dan begitulah pula manusia pada umumnya. Ketika kita sampai kepada sebuah tempat dimana kita merasa nyaman, maka kita menjadi enggan untuk beranjak dari tempat itu. Sehingga, gagasan tentang ’keluar dari zona kenyamanan’ semakin terdengar seperti sebuah lelucon. Cobalah tengok, pencapain kita hari ini. Apakah masih sama dengan yang hari kemarin? Berbedakah dengan apa yang bisa kita wujudkan tahun lalu? Jangan-jangan, semuanya masih seperti yang dulu-dulu. Kita memang ikut penjelajahan sang waktu. Namun, kita hanya diam disitu. Padahal, hidup tidak pernah berhenti menawarkan banyak hal baru. Seperti samudera yang bersedia membawa kita mengembara keseluruh penjuru dunia. Tapi, karena kita terpesona dengan sang zona kenyamanan, maka kita memutuskan untuk berhenti. Kemudian menyerahkan diri, seperti sang kritip memasrahkan hidupnya kepada sang batu karang. Hingga tidak jelas lagi perbedaan antara hidup dengan mati. Sampai-sampai, kita ragu apakah kita ini masih hidup, atau sudahkah kita mati.

Zona kenyamanan juga mengisyaratkan kita tentang memberi nilai kepada hidup itu sendiri. Kita, merasa nyaman dengan perilaku-perilaku kita. Meskipun itu buruk, namun kita enggan meninggalkan keburukan itu. Walau tahu itu merugikan orang lain, tapi kita keberatan menghentikannya. Biar itu merendahkan diri, kita meneruskannya juga. Hingga kita berani berkata; ”Mencari uang dengan cara curang saja sudah susah, apalagi melakukannya dengan kejujuran?” Kita percaya bahwa ombak dihadapan kita itu terlampau berbahaya. Jadi, kita memilih berdiam diri seperti sang kritip. Kita percaya bahwa menjadi orang jujur itu menyusahkan hidup, maka kita memilih terpenjara dalam ketidakjujuran.

Memang, selama ini saya sering bertanya; mengapa orang tidak gampang untuk sadar? Ternyata sebenarnya mereka sadar. Seorang pencuri, sadar bahwa mencuri itu bukan tindakan yang baik. Seseorang yang mengambil uang bukan haknya sadar bahwa tindakannya melanggar norma-norma. Seseorang yang menindas orang lain sadar bahwa perbuatannya tidak mencerminkan nilai luhur dirinya sebagai seorang manusia. Namun, kita merasa bahwa tinggal selamanya dalam kubangan perbuatan-perbuatan itu sebagai tempat teraman, dan ternyaman. Sebab, dengan cara itu kita bisa mendapatkan banyak uang secara instan. Mudah. Dan melimpah. Sedangkan, jika meninggalkan cara itu, dan mulai berenang didalam ombak; tantangannya terlalu berat. Belum tentu kita bisa bertahan dalam terpaan gelombang kehidupan itu. Jangan-jangan, kita akan mati tenggelam. Jadi, mengapa kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ini? Padahal, sang kritip mengatakan; ”Kamu akan mati, jika berhenti dalam kubangan itu. Yang mati bukan dirimu. Tapi hatimu. Lalu hati itu memosil. Dan kemudian mengeras, serupa kerasnya batu karang…….”

Hore,
Hari Baru!

Catatan Kaki:
Kita mengira roda kehidupan ini terus berputar seiring beranjaknya sang waktu. Namun setelah bertahun-tahun lamanya, ternyata kita masih disini. Mungkin, inilah saatnya bagi kita untuk berhenti dari berhenti. Dan kembali berlari

Pintu Keberhasilan: Keberuntungan Atau Kerja Keras?

by Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com


Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Kita kadang menyebutnya sebagai ‘hoki’. Itulah keberuntungan. Ada orang yang begitu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada keberuntungan. Ada pula yang sama sekali tidak mempercayainya. Tidak jarang keberuntungan dianggap sebagai sesuatu yang tidak lebih dari sekedar cerminan sikap inferioritas orang-orang yang bisa saja berhasil, sekaligus calon kambing hitam bagi orang-orang yang gagal. Orang berhasil yang rendah diri menganggap bahwa keberhasilannya itu ‘hanyalah sebuah keberuntungan’ belaka. Sementara orang-orang gagal dapat dengan mudahnya mengatakan; ‘saya kurang beruntung, makanya saya gagal’. Sesederhana itu. Ada dua pandangan ekstrim disini. Pertama, kemasabodohan dan kedua, ketergantungan terhadap sebuah keberuntungan. Sebagian orang menganggap bahwa kemasabodohan membawa penganutnya kepada sikap pencaya diri yang berlebihan. “Ini hasil kerja keras gue. Nothing to do with keberuntungan!”. Orang ini semata-mata mengandalkan unsur kasat mata. Cenderung agak ‘kering’ dari unsur ruh atau spiritualitas. Sedangkan sebagian orang lainnya berpikir bahwa ketergantungan kepada keberuntungan menyebabkan penganutnya cenderung kurang indipenden. Bahkan sekalipun mereka sebenarnya memiliki kemampuan teknis yang memadai, namun, sering dikendalikan oleh keraguan atau kekhawatiran; “Jangan-jangan keberuntuangan tidak sedang berpihak pada saya”. Tetapi, benarkah keberhasilan kita sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keberuntungan? Ataukah, justru keberuntunganlah yang menyebabkan kita berhasil?

Setiap orang tentu boleh saja menentukan pilihannya sendiri. Apakah hendak menjadi orang dari kelompok pertama, atau kedua. Tetapi, mari kita lihat sekali lagi apakah kita benar-benar sudah menentukan pilihan secara tepat. Fokusnya bukanlah kepada apakah pandangan yang satu lebih tepat dari pandangan yang lainnya. Melainkan, apakah kita sudah menempatkan pandangan kita itu secara tepat. Itu saja. Boleh jadi kedua pandangan ekstrim itu benar adanya. Dan jika kita bisa menempatkan keduanya – apapun pilihan kita – pada tempat dan situasi yang tepat, itu pasti akan menjadi kekuatan yang sangat sulit untuk digoyahkan.

Apa yang bisa kita lakukan disini adalah belajar dari kedua jenis manusia dengan kedua pandangan yang berbeda itu. Pertama, mari kita belajar dari orang yang tidak percaya pada keberuntungan. Mereka yang tidak percaya keberuntungan mempunyai sikap kemandirian yang mengagumkan. Mereka adalah pengambil resiko yang berani. Dan semangatnya, tidak mudah dipatahkan. Ketika orang-orang dari jenis ini menghadapi kegagalan, maka apa yang mereka katakan kepada dirinya sendiri adalah:”Gue kurang persiapan.” atau ”Gue mesti berusaha lebih keras lagi.” Atau ”Lain kali akan gue coba lagi”. Mereka begitu percaya bahwa jika mereka melakukannya dengan lebih baik lagi, maka mereka pasti akan berhasil. Mereka juga bukanlah orang-orang yang bermental ’blamming’. Menyalahkan orang lain. Jika mereka gagal, maka menyalahkan orang lain atas kegagalannya bukanlah gaya mereka. Sekalipun orang lain bahkan memang melakukan sesuatu untuk mengganjalnya dari perjuangan meraih keberhasilan; orang-orang dari jenis ini tetap tidak terpancing menyalahkan orang lain. Mereka, dengan sangat mengagumkannya, mengatakan:”Gue kurang hati-hati dengan kemungkinan itu. Lain kali, gue tidak bakal bisa dikibulin lagi”.

Perhatikan sekali lagi; pandangan mereka selalu mengarah kepada ’perbaikan’ dari dalam diri mereka sendiri. Introspeksi, jika anda ingin menyebutnya demikian. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menemukan orang-orang dari jenis ini selalu bersemangat untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Mereka tidak mungkin pernah berdiam diri dari ’memperbaiki diri’. Semangat mereka, tidak pernah padam.

Berada ditengah-tengah orang yang seperti ini, anda akan dilingkupi oleh sikap optimis. Sungguh, tak kan pernah anda temui orang-orang dari jenis ini dihantui oleh pesimisme. Mereka bahkan selalu mampu menemukan sisi optimistik dari situasi yang paling sulit sekalipun. Dan mereka, tidak akan pernah berhenti, hingga mereka benar-benar berhasil. Berada ditengah-tengah mereka. Membuat anda tertular dahaga untuk berbuat. Berusaha. Memperbaiki diri. Dan bangkit lagi. Dan bangkit lagi.

Dalam konteks kita harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keberhasilan kita; bagaimanapun situasinya. Berapapun harganya. Sesulit apapun kondisinya. Seberat apapun tantangannya. Kita pantas belajar dari manusia jenis ini. Dan jika kita bisa meniru mereka; apakah ada kemungkinan kita akan gagal? Tidak. Pasti kita berhasil. Karena mereka yang terus-menerus memperbaiki diri. Pantang menyerah. Bangkit. Dan bangkit lagi. Bagi mereka; keberhasilan itu merupakan sebuah keniscayaan. Sebuah kepastian.

Bagaimana dengan jenis manusia kedua? Apa yang bisa kita pelajari dari mereka? Perhatikan. Doa bagi mereka bukanlah sekedar sesuatu yang diucapkan melalui lidah saja. Mereka memasukkan doa-doa kedalam hati mereka. Lalu dari hati, doa-doa itu dilarutkan kedalam darah mereka. Melalui darah itu doa-doa itu berjalan menelusuri arteri coronary. Terus menuju kedalam jantung. Kemudian jantung mereka, memompa darah penuh doa itu menyembur melalui aorta. Lalu sang darah berpisah-pisah disetiap cabang dan pesimpangan pembuluh, menuju ketempat dimana mereka masing-masing ditugaskan untuk mengunjunginya, dijaringan perifer. Dan diferifer itu mereka melemparkan doa-doa yang dibawanya itu kesetiap pintu sel-sel tubuh mereka. Seperti tukang koran yang lewat didepan rumah; lalu melemparkan koran yang dibawanya kehalaman rumah kita. Lalu sel-sel itu menyantap sang doa, hingga mereka menjadi kuat oleh cahaya spiritualitas yang mengkilau. Maka jadilah tubuh orang dari jenis ini dipenuhi oleh doa-doanya. Hati mereka dipenuhi doa. Darah mereka dipadati doa. Jantung mereka dijejali doa. Daging mereka diliputi doa. Tulang-tulang mereka diselaputi doa. Dan, bukankah doa itu merupakan kata lain dari sebuah pengharapan? Mereka berharap agar sang maha kuasa memberi mereka apa yang mereka inginkan. Dan ketika Tuhan mengabulkan permintaan mereka, mereka mengatakan: ”Keberuntungan sedang berpihak kepada saya”.

Perhatikan sekali lagi; pandangan mereka selalu mengarah kepada ’keyakinan’ bahwa Tuhan akan mengerahkan kekuatan alam semesta untuk membantu mereka meraih keberhasilan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menemukan orang-orang dari jenis ini selalu yakin bahwa keberhasilan akan menjadi milik mereka. Mereka tidak akan bertindak tanpa keyakinan untuk bisa berhasil. Jika mereka belum yakin bisa berhasil, maka mereka akan terlebih dahulu mempersiapkan diri untuk kesempatan dan waktu yang tepat. Mereka sangat cermat dalam menghitung waktu. Sebab bagi mereka, sesuatu yang dilakukan terburu-buru; tidak akan mungkin membawa keberhasilan. Agar berhasil, mereka memperhitungkan kapan saat yang tepat untuk memulai suatu kegiatan.

Berada ditengah-tengah orang yang seperti ini, anda akan dilingkupi oleh sikap cermat yang bersumber kepada nilai-nilai spiritualitas teramat kental. Bersama mereka, ketika anda berdoa, anda tidak sekedar mengucapkannya begitu saja; tanpa mengerti makna doa-doa yang anda panjatkan. Anda benar-benar meresapi doa itu. Dan bagaikan sebuah mantra; doa menguatkan jiwa dan raga anda. Sehingga anda benar-benar siap untuk memetik keberhasilan yang anda dambakan itu. Sungguh, tak kan pernah anda temui orang-orang dari jenis ini dihantui oleh kegamangan. Ketika mereka tahu saatnya tepat, mereka akan melakukannya dengan seluruh kemampuan disertai keyakinan bahwa alam semesta mendukung dibelakang mereka. Dan mereka tidak akan pernah melakukan sesuatu kecuali mereka tahu; bahwa mereka akan berhasil. Berada ditengah-tengah mereka. Membuat anda tercerahkah untuk selalu berpegang teguh pada tali pertolongan Tuhan. Berdoa. Berusaha. Mempersiapkan segala sesuatunya untuk memulai sebuah tindakan. Dan menyelesaikannya dengan akhir yang manis.

Baiklah. Sekarang anda simpulkan sendiri. Dari kedua jenis manusia ekstrim itu; mana yang pasti akan berhasil? Kelompok pertama. Baiklah, jika anda yakin bahwa kelompok pertama akan menjadi manusia-manusia paling berhasil; silakan belajar kepada mereka. Tapi ingatlah, ada banyak orang yang mengaku bagian dari jenis manusia kelompok pertama. Padahal tidak benar-benar demikian. Mereka kelihatannya optimistis. Penuh semangat. Berani mengambil resiko. Tetapi, ketika mereka dihadang oleh kegagalan yang berulang-ulang, maka mereka berputus asa. Hati-hatilah dengan yang seperti ini. Mereka bukan kelompok manusia jenis pertama yang kita bicarakan tadi. Tidak asli. Mereka hanya berpura-pura. Mereka mengaku-aku dirinya begitu, padahal tidak. Sebab, seperti sudah kita bahas dimuka, manusia dari kelompok pertama bukanlah orang-orang yang berputus asa.

Jika anda yakin bahwa kelompok kedua akan menjadi manusia-manusia paling berhasil; silakan belajar kepada mereka. Tapi ingatlah, ada banyak orang yang mengaku bagian dari jenis manusia kelompok kedua. Padahal tidak benar-benar demikian. Mereka kelihatannya spiritualis. Penuh perhitungan akan ketepatan waktu. Bertindak dengan keyakinan yang tinggi. Tetapi, ketika mereka dihadang oleh kegagalan yang berulang-ulang, maka mereka menyalahkan Tuhan yang tidak mau memberikan keberuntungan. Hati-hatilah dengan yang seperti ini. Mereka bukan kelompok manusia jenis kedua yang kita bicarakan tadi. Tidak asli. Mereka hanya berpura-pura. Mereka mengaku-aku dirinya begitu, padahal tidak. Sebab, seperti sudah kita bahas dimuka, manusia dari kelompok kedua bukanlah orang-orang yang menyalahkan Tuhan atas nasib yang mereka miliki.

Dan…., termasuk kelompok yang manakah anda?

Hore,
Hari Baru!

Catatan kaki:
Jika manusia boleh mengejar kesempurnaan; maka itu tiada lain adalah mendekatkan diri kepada Tuhannya, seraya mengoptimalkan semua potensi diri yang telah Tuhan anugerahkan kepada dirinya.

renungan motivasi

RENUNGAN MOTIVASI:

diambil dari: http://wuryanano.com/


"Dan (ingatlah) di waktu Tuhan kalian memperingatkan. Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmati-Ku kepada kalian; dan jika kalian mengingkarinya, maka azab-Ku amat berat sekali". (Al-Qur'an, Surat Ibrahim: 7)


"(yaitu) bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya". (Al-Qur'an, Surat Al-Muddatstsir: 37 – 38)



"Dan jika kamu berbuat kebaikan, maka kamu berbuat kebaikan untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kamu sendiri yang akan menderita". (Al-Qur'an, Surat Al-Isra: 7)



"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri". (Al-Qur'an, Surat Ar-Ra'd: 11)


"dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya". (Al-Qur'an, Surat An-Najm: 39)



"Dan bagi masing - masing orang memperoleh derajat - derajat ( seimbang ) dengan apa yang dikerjakannya". (Al-Qur'an, Surat Al An’aam : 132)



"Bekerjalah untuk duniamu seakan – akan kamu hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan – akan kamu mati esok". (Hadits Riwayat Turmudzi)





"Sesungguhnya Allah Suka Melihat wujud nikmatNya atas hambaNya". (Hadits Riwayat Turmudzi)





Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh, jika salah seorang di antara kalian berangkat pagi untuk mencari kayu yang ia panggul di atas punggungnya, lalu ia menyedekahkannya dan tidak memerlukan pemberian manusia; maka itu adalah lebih baik daripada ia meminta kepada seseorang, baik orang lain itu memberinya ataupun tidak. Karena, tangan yang di atas (yang memberi) lebih utama daripada tangan yang di bawah (yang menerima). Dan mulailah dengan orang yang engkau tanggung". (Hadits Riwayat Abu Hurairah)