Kita sering diingatkan bahwa selama masih hidup, maka roda kehidupan masih akan terus berputar. Kadang diatas, dan kadang dibawah. Kita ingin terus diatas. Namun, hidup memiliki kodratnya sendiri.Yang diperlukan hidup dari kita bukanlah menghentikan perputarannya, melainkan berlari bersamanya. Membawa roda itu menuju ketempat yang nilainya tinggi. Sebab, ditempat yang tinggi, sekalipun bagian roda itu berada dibawah, tetap saja dia tinggi. Jadi, jika kita bisa memberikan derajat yang tinggi pada sang roda, maka berada dibagian bawah roda itu bukanlah masalah. Melainkan, seperti melodi indah dalam simponi naik dan turunnya irama sebuah orkestra. Itu hanya bisa terjadi jika kita terus berlari. Sebab, jika kita berhenti, maka kita menjadi terdiam seperti mati.
Pagi itu, embun masih enggan untuk beranjak pergi. Menutupi rumput tebal yang menghampar diseluruh permukaan padang golf yang menghijau. Hujan semalam menyisakan sunyi. Juga dingin memanjakan. Sementara burung-burung mulai sibuk bernyanyi tralala-trilili, tak seorangpun saya temui dipagi buta seperti ini. Kesendirian memberi ruang untuk menikmati semuanya tanpa ada yang menyela. Nyanyi riang para burung bergabung dengan gemuruh deburan ombak dikejauhan. Bersama suara derak renyah dari pergesekan antara alas sepatu dengan landasan semen disepanjang jogging tract yang saya telusuri. Benar-benar damai. Begitu membuai hingga tanpa terasa padang golf sudah berganti dengan bibir pantai yang terjal. Embun bergulat dengan geliat sinar mentari, namun keringat disekujur tubuh saya bercucuran tanpa kompromi. Tak ada dingin. Melainkan kehangatan yang memenuhi hati.
Sesampai diujung terjauh tebing itu, kita tidak perlu berlari lagi. Inilah ujung dunia itu. Tempat pertemuan antara muara sungai dengan tanah tempat berpijak, dan lautan yang mendeburkan suara ombak. Tempat dimana kita bisa membenamkan diri didalam kedamaian. Tempat dimana lagu laut bersenandung merdu untuk menghipnotis kita agar mendekat. Hingga akhirnya berhadapan langsung dengan sang ombak. Berdiri diatas batu karang kehitaman yang berdiri tegak. Terpukau oleh sisa-sisa air pasang semalam. Terpikat oleh ikan-ikan kecil yang terperangkap disela-sela genangan. Siput-siput terpaku dalam bisu. Dan rumput-rumput laut menyajikan hamparan bak beludru.
Ketika saya melompat dari satu batu karang ke batu karang lainya, tiba-tiba saja ada sebuah kesadaran baru. Ternyata, tempat saya berpijak bukanlah benar-benar batu karang. Melainkan setumpuk kulit kerang yang mengeras, melapisi permukaan batu karang itu. Lama-lama, saya menyadari bahwa selama jutaan tahun alam telah menghidupi batu karang itu dengan sisa-sisa kulit kerang. Lalu mereka memosil. Dan akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur batu itu. Tapi, ada satu tanya nyaris tak berjawab dibenak saya; ’Mengapa alam begitu rajin mengumpulkan kulit kerang itu?’ Dengan telaten membawanya ketempat itu. Dan teramat terampilnya menata kulit kerang itu sebegitu rapi. Tetapi, benarkah mereka melakukannya? Jika bukan, lantas siapa? Yang pasti, itu bukan perbuatan ikan-ikan. Bukan tindakan ombak yang bercipratan. Bukan pula nelayan. Siapa? Saya tidak tahu.
Semakin kuat memendam keingintahuan, semakin terkubur saya dalam rasa penasaran. Formasi itu terlalu indah untuk diabaikan. Hingga akhirnya, saya terdorong untuk mencongkel kulit kerang itu. Namun, tangan ini tak kuasa untuk membongkar batu karang. Dia terlalu tangguh. Terlampau kokoh untuk sekedar membuatnya goyah. Saya mencobanya sekali lagi, kali ini menggunakan sebongkah batu. Namun, kulit kerang itu tidak hendak lepas dari pelukan sang batu karang. Mereka begitu menyatu, hingga enggan dipisahkan. Saya memukulkan batu itu terlampau keras ketika salah satu kulit kerang terpecah. Padahal, saya ingin dia utuh. Bukan hancur seperti itu.
Namun, penyesalan saya berubah menjadi ketakjuban. Ternyata, dibalik kulit kerang yang pecah itu bersembunyi seonggok daging. Daging kerang. Ternyata, kerang-kerang yang saya anggap hanya sisa-sisa sebuah kehidupan itu sesungguhnya masih hidup. Ternyata, mereka bukan setumpuk cangkang. Melainkan sebuah spesies kerang yang hidup dengan cara menempelkan dirinya dibatu karang. Berapa lama mereka harus terpaku disitu? Seumur hidup. Sejak lahir, hingga menjemput kematian. Orang-orang di Bali menamakan spesies kerang itu ’kritip’. Yaitu, kerang yang menyerahkan diri kepada batu karang. Dan mereka menjadi bagian dari bertumbuh dan berkembangnya sang batu karang.
Saya tercenung. Memandang kearah laut yang teramat luas. Membayangkan bahwa angin telah mengantarkan sang ombak untuk menjelajah seluruh penjuru dunia. Mereka-reka bahwa para ikan sudah bepergian kesemua tepi bumi. Dan para kura mengembara kemana-mana. Sementara para kritip, hanya tinggal diam terpaku disitu. Tiba-tiba saja, saya menyadari, bahwa hidup kita seperti kritip. Terpaku pada sesuatu yang kita anggap sebagai kenyamanan. Menjadikan kita takut untuk menantang hidup. Meski seperti halnya samudera luas itu, hidup sungguh menyediakan berbagai macam peluang. Menyajikan banyak hal yang lebih baik daripada tempat dimana kita berada kini. Namun, kita enggan meninggalkan kenyamanan ini dan melintasi rintangan demi pencapaian kita yang berikutnya. Dan kita mengatakan; “sudahlah, saya sampai disini saja”. Sehingga sang waktu yang telah menempuh perjalanan begitu jauh, hanya membawa kita ketempat yang sama. Tidak. Kita tidak boleh seperti itu lagi. Kita harus bersedia berhenti dari berhenti. Kembali berlari. Dan terus berlari lagi.
Tiba-tiba saja saya teringat tentang jebakan zona kenyamanan. Comfort zone. Seolah tengah kembali diajarkan sang kritip. Dan begitulah pula manusia pada umumnya. Ketika kita sampai kepada sebuah tempat dimana kita merasa nyaman, maka kita menjadi enggan untuk beranjak dari tempat itu. Sehingga, gagasan tentang ’keluar dari zona kenyamanan’ semakin terdengar seperti sebuah lelucon. Cobalah tengok, pencapain kita hari ini. Apakah masih sama dengan yang hari kemarin? Berbedakah dengan apa yang bisa kita wujudkan tahun lalu? Jangan-jangan, semuanya masih seperti yang dulu-dulu. Kita memang ikut penjelajahan sang waktu. Namun, kita hanya diam disitu. Padahal, hidup tidak pernah berhenti menawarkan banyak hal baru. Seperti samudera yang bersedia membawa kita mengembara keseluruh penjuru dunia. Tapi, karena kita terpesona dengan sang zona kenyamanan, maka kita memutuskan untuk berhenti. Kemudian menyerahkan diri, seperti sang kritip memasrahkan hidupnya kepada sang batu karang. Hingga tidak jelas lagi perbedaan antara hidup dengan mati. Sampai-sampai, kita ragu apakah kita ini masih hidup, atau sudahkah kita mati.
Zona kenyamanan juga mengisyaratkan kita tentang memberi nilai kepada hidup itu sendiri. Kita, merasa nyaman dengan perilaku-perilaku kita. Meskipun itu buruk, namun kita enggan meninggalkan keburukan itu. Walau tahu itu merugikan orang lain, tapi kita keberatan menghentikannya. Biar itu merendahkan diri, kita meneruskannya juga. Hingga kita berani berkata; ”Mencari uang dengan cara curang saja sudah susah, apalagi melakukannya dengan kejujuran?” Kita percaya bahwa ombak dihadapan kita itu terlampau berbahaya. Jadi, kita memilih berdiam diri seperti sang kritip. Kita percaya bahwa menjadi orang jujur itu menyusahkan hidup, maka kita memilih terpenjara dalam ketidakjujuran.
Memang, selama ini saya sering bertanya; mengapa orang tidak gampang untuk sadar? Ternyata sebenarnya mereka sadar. Seorang pencuri, sadar bahwa mencuri itu bukan tindakan yang baik. Seseorang yang mengambil uang bukan haknya sadar bahwa tindakannya melanggar norma-norma. Seseorang yang menindas orang lain sadar bahwa perbuatannya tidak mencerminkan nilai luhur dirinya sebagai seorang manusia. Namun, kita merasa bahwa tinggal selamanya dalam kubangan perbuatan-perbuatan itu sebagai tempat teraman, dan ternyaman. Sebab, dengan cara itu kita bisa mendapatkan banyak uang secara instan. Mudah. Dan melimpah. Sedangkan, jika meninggalkan cara itu, dan mulai berenang didalam ombak; tantangannya terlalu berat. Belum tentu kita bisa bertahan dalam terpaan gelombang kehidupan itu. Jangan-jangan, kita akan mati tenggelam. Jadi, mengapa kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ini? Padahal, sang kritip mengatakan; ”Kamu akan mati, jika berhenti dalam kubangan itu. Yang mati bukan dirimu. Tapi hatimu. Lalu hati itu memosil. Dan kemudian mengeras, serupa kerasnya batu karang…….”
Hore,
Hari Baru!
Kita mengira roda kehidupan ini terus berputar seiring beranjaknya sang waktu. Namun setelah bertahun-tahun lamanya, ternyata kita masih disini. Mungkin, inilah saatnya bagi kita untuk berhenti dari berhenti. Dan kembali berlari
No comments:
Post a Comment